SENEKO.CO.ID | PAPUA — Setelah meminta perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah terkait pelayanan kesehatan di Rumah Sakit (RS) Pemerintah maupun Swasta di Papua dan Papua Barat, Senator Filep Wamafma menelisik lebih jauh terkait kondisi sektor kesehatan secara menyeluruh di Tanah Papua. Dari data dan berbagai informasi yang ditemukan, Senator Filep menyimpulkan bahwa Papua sejatinya sedang berada di fase darurat kesehatan.
“Afirmasi Otonomi Khusus (Otsus) yang kami perjuangkan untuk kesehatan, ternyata tidak berbanding lurus dengan pencapaian sektor kesehatan di lapangan. Saya katakan, Papua darurat kesehatan,” kata Filep di ruang kerjanya, Selasa (14/5/2024).
“Benar-benar situasi darurat untuk kesehatan. Kita cek satu per satu. Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun angka kematian ibu (AKI) seluruh provinsi di Indonesia melalui long form Sensus Penduduk (SP) 2020-2022. Hasilnya, Papua menjadi provinsi dengan AKI tertinggi, yakni 565 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Kemudian menyusul Papua Barat di posisi kedua dengan 343 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ini persoalan serius,” tegas Filep.
Senator Filep juga menemukan bahwa secara nasional angka kematian balita paling banyak dari Papua dan Papua Barat. Ia menunjukkan laporan BPS yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki angka kematian balita 19,83 per 1.000 kelahiran hidup pada 2022. Artinya, dari setiap 1.000 anak yang lahir dengan selamat, sekitar 19 anak diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun.
Celakanya, Papua menjadi provinsi dengan angka kematian balita tertinggi, yakni 40,97 per 1.000 kelahiran hidup pada 2022, lalu diikuti Papua Barat dengan angka sebesar 47,23 per 1.000 kelahiran hidup.
“Jadi bukan cuma kematian ibu, tetapi juga kematian bayi. Kalau ini dibiarkan, generasi Papua akan habis. Sayangnya hal ini terjadi di saat dana kesehatan Otsus melimpah,” ungkap Filep.
“Saya cek lagi lebih, jauh ternyata Papua dan Papua Barat masuk dalam 6 provinsi dengan angka stunting terbesar. Papua di urutan ketiga dengan 34,6%, sementara Papua Barat di urutan ke enam (30%), ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan. Semua persoalan ini harus dicari akar masalahnya,” kata Filep lagi.
Lebih lanjut, pimpinan Komite I DPD RI itu mengutarakan beberapa poin mendasar berdasarkan pada data yang diperolehnya. Ia mengusulkan sejumlah langkah-langkah yang dapat dioptimalkan terkait kondisi kesehatan di Papua-Papua Barat.
“Pertama, persoalan cara hidup sehat. Masyarakat Papua butuh pendampingan yang serius seperti provinsi lainnya di Indonesia terkait cara hidup sehat. Sifatnya harus berkelanjutan. Jadi tidak hanya memberikan stok obat saja satu kali ke daerah dan membiarkan daerah survive sendiri. Kedua, persoalan tenaga kesehatan. Saya berkali-kali sudah sampaikan bahwa tenaga kesehatan di Papua sangat minim, terutama ketersediaan dokter dan dokter spesialis. Dalam rilis media sebelumnya, saya sudah sampaikan terkait hal ini,” ujarnya.
Kemudian, Ketiga, persoalan manajemen pengelolaan kesehatan, terutama Rumah Sakit. Menurutnya, perlu adanya evaluasi misalnya mengapa dokter-dokter tidak betah, bisa jadi dikarenakan manajemen RS yang belum profesional, mulai dari penggajian sampai penerimaan pegawai. Keempat, kelayakan fasilitas kesehatan, misalnya di RS.
“Di Papua saya lihat, masih banyak RS tipe pratama, di bawah tipe D, padahal di level Kabupaten. Seharusnya menurut saya, RS di level kabupaten di level C dimana menurut Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, RS tipe C menyediakan minimal 100 tempat tidur. RS kelas C paling sedikit menyediakan 4 medik spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik sehingga masyarakat bisa menikmati pelayanan medik umum, gawat darurat, medik spesialis dasar, spesialis penunjang medik, medik spesialis gigi mulut, keperawatan dan kebidanan, serta pelayanan penunjang klinik dan non klinik. Nah kalau tipe di kabupaten saja masih pratama, sudah bisa kita prediksi kondisi kesehatan masyarakat,” jelas Filep.
“Tentu masalah-masalah ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Dana Otsus kesehatan dan dana kesehatan dari DBH Migas semestinya bisa digunakan secara optimal guna menyelesaikan masalah-masalah ini. Saya meminta kepada pemerintah pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten, untuk serius menangani hal ini,” pungkas Filep. (hms)