SENEKO NEWS | JOGJA — Di hadapan ratusan ibu nyai pengasuh pondok pesantren dan mubaligh perempuan, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyampaikan tantangan ulama perempuan yang kurang menonjol, diantaranya karena budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas kedua. Budaya ini, menurutnya, mesti dapat dipandang secara positif.
“Perempuan dianggap sebagai konco wingking, tapi secara positif, konco wingking adalah pendamping. Memang, dalam budaya kita, perempuan memiliki tugas-tugas domestik. Namun hal itu tidak lepas dari upaya berbagi peran. Saya yakin, perjuangan kiai-kiai besar, tidak bisa tidak, juga berkat dorongan dan dukungan para istri,” jelas pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut dalam Peringatan Hari Lahir Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh (JPPPM) di Aula Asrama Putra Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, pada Ahad (24/11/2024).
Dalam kegiatan yang bertajuk “Meneruskan Perjuangan Para Ulama dengan Meningkatkan Tafaqquh Fiddin Menebar Maslahat untuk Umat” tersebut, Gus Hilmy mengajak para ibu nyai menjadikan santri-santrinya untuk siap dan cakap, tanpa meninggalkan tradisinya sebagai seorang wanita. Dengan cara demikian, menurut salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak tersebut, perempuan dapat menuliskan sejarahnya sendiri.
“Tetap sebagai perempuan, tetapi memiliki peran sesuai dengan keinginannya masing-masing. Ini bagian dari upaya untuk mengubah perspektif. Jika hari ini ada keluhan minimnya catatan tentang ulama perempuan, maka perempuan harus menuliskan sejarahnya sendiri. Jangan menunggu laki-laki menulis, sebab perspektifnya nanti akan laki-laki juga,” papar anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.
Demikian juga, kata Gus Hilmy, para ibu nyai, harus bersedia membuka diri. Kalau ada putri atau santri yang ingin sekolah di luar negeri, mendaftar pada profesi-profesi atau berkiprah di luar institusi agama, jangan dihalang-halangi. Justru harus dipandang sebagai upaya untuk memberdayakan diri.
“Yang penting kita kuatkan bahwa anak-anak kita tetap menjunjung tinggi budaya dan kuat dengan syariatnya. Yang kita sesalkan adalah ibu nyai melarang anaknya sekolah tinggi, daftar polisi, jadi host, dan sebagainya. kamu itu perempuan harus begini begini. Inilah yang menjadi tugas JPPPM agar yang begini tidak ada lagi,” tutur Senator asal Yogyakarta tersebut.
Kegiatan yang dimaksudkan untuk memperingati Hari Lahir JPPPM yang ke-9 tersebut dihadiri diantaranya oleh Ny. Hj. Ummi Salamah, Ny. Hj. Musta’anah, Ny. Hj. Ida Rufaida Ali, Ny. Hj. Durroh Rosim.
Melalui pertemuan tersebut, Gus Hilmy berpesan agar JPPPM bersinergi dengan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI). Menurutnya, lingkupnya memang berbeda, tetapi keduanya memiliki irisan yang sama-sama objeknya adalah pondok pesantren.
“Yang kita lihat NU-nya. RMI di bawah NU, JPPPM juga bagian dari warga NU. Mari bersama-sama ikut dalam arus besar umat Islam di Indonesia atau NU sebagai al-jamaah. Dengan demikian JPPPM akan memperkuat posisi RMI. Sebaliknya, RMI juga bisa merangkul JPPPM. Ibarat suami istri, akan sangat positif jika bisa saling sinergi. Tentu harapannya akan memberikan manfaat yang lebih besar lagi,” pesan Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut. (*)